CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 23 Juni 2012

Korek Api VS Labirin


Menjelang lulus kuliah, seorang teman bertanya apa cita-citaku kelak, aku menjawabnya dengan tulus...jadi seorang ibu rumah tangga. Dia tersenyum bernada meledek, "hhh, kuliah tinggi-tinggi, jauh pula cuma mau jd ibu rumah tangga?" komentarnya saat itu. Sesaat aku berpikir, apa yang salah dengan jawabanku? Toh ilmu yang kuperoleh saat kuliah bisa kuamalkan untuk anak-anakku. Meskipun begitu, nada sindirannya cukup mengusik perasaan & naruniku, iya juga sih, udah kuliah...masa ga kerja kantoran?
Waktu pun berlalu. Aku lulus dan seperti kebanyakan fresh graduate, gelagapan mencari kerja demi status menjadi pegawai. Bertemulah dengan seorang perempuan berkarir yang menjadi atasanku. Beliau beranggapan bahwa perempuan yang telah menempuh pendidikan tinggi (kuliah & menjadi sarjana) lalu menikah & menjadi ibu rumah tangga, ibarat seekor kutu loncat yang memiliki daya loncat tinggi kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kotak korek api. Karena terhalang oleh dinding-dinding kotak yang sempit, si kutu loncat pun kehilangan kemampuannya untuk meloncat tinggi. Ketika di keluarkan dari kotak korek api, si kutu hanya dapat meloncat setinggi kotak korek api. Perumpamaan tersebut sempat terpendam dalam benakku, bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga akan mematikan daya & kemampuanku sebagai seorang perempuan sarjana
Waktu kembali bergulir. Aku menikah dan mengikuti kemana suamiku bekerja. Dengan kerelaan untuk meninggalkan pekerjaan yang sempat memberiku status pegawai. Tak lama berselang, Allah mengijinkanku untuk hamil anak pertama. Karena masih mengalami masa transisi dari seorang perempuan berkarir menjadi seorang ibu rumah tangga & calon ibu, aku merasa kesulitan untuk menerima perubahan ini. Dari memiliki rutinitas padat hingga rutinitas yang longgar, membuatku terlena untuk berleha-leha. Keinginan untuk bekerja kembali sering menghinggapi pikiranku, meski sering ditunda untuk waktu yang tak dapat ditentukan. Saat itu, status ibu rumah tangga kuanggap sebagai status formal setiap wanita yang menikah. Kesulitan untuk menerima status sebagai ibu rumah tangga sering menjadi pemicu konflik dalam diri sendiri yang berakibat pada seluruh pekerjaan rumah tangga, maupun hubungan personal dengan suami & janin dalam kandungan. Ketidakhadiran orangtua ataupun saudara di sekitarku membuatku merasa makin sendirian dalam menghadapi peran baruku, sebagai istri & calon ibu. Akibatnya, ledakan emosi & perasaan kesepianlah yang kudapat.
Anakku pun lahir. Berbekal ilmu yang minim, hanya dari beberapa buku & pesan-pesan orangtua, aku & suami membesarkan anak kami sendirian. Masih menyandang status ibu rumah tangga, aku merasa beban pekerjaanku bertambah. Tak dipungkiri, konflik batin terus menerpa. Kenapa harus aku yang mengerjakan semua ini sendirian? Kenapa aku tak bisa seperti perempuan lain yang bekerja dan terhindar dari tanggung jawab rumah tangga? kenapa suami sepulang kerja hanya tidur tanpa membantu mengurus anak? dan beribu pertanyaan mendera. Hingga saat itu pun tiba. Anakku rewel tak seperti anak lainnya. Tangisan & teriakannya bisa berlangsung hingga 1 jam! Telingaku pekak mendengar jeritannya, belum rasa malu jika terdengar tetangga. Kepalaku rasanya pening karena aliran darah yang meningkat. Bingung, marah, malu, cemas. Akhirnya aku sadar. Anak adalah cerminan orangtuanya. Anakku berperilaku demikian disebabkan kekurangsiapan mentalku dalam menjadi seorang ibu. Dari semenjak dalam kandungan, ia telah merasakan gejolak emosi & penolakanku.  Setelah lahirpun, bayiku yang tak berdosa dinodai oleh emosi negatif dari ibunya sendiri.
Astagfirullah…Ampuni aku ya Allah.
Setelah berjibaku dalam kebingungan mengatasi masalah perilaku buruk anakku dan iringan do’a mohon petunjukNya, hidayah itupun muncul. Aku ingin menjadi ibu yang sebaik-baiknya bagi anak-anakku & istri yang terbaik bagi suamiku. Petunjuk demi petunjuk di berikanNya untuk menuntunku ke arah yang benar.  Aku ibaratkan diriku seperti kran yang mampet karena tersumbat kotoran. Air yang mengalir pun keruh. Agar airnya kembali lancar, diperlukan niat untuk membersihkan kotoran-kotoran tersebut. Awalnya mungkin tersendat-sendat, tapi jika diiringi niat kuat untuk menghilangkan kotoran tersebut, pelan-pelan tapi pasti Insya Allah aliran airnya kembali lancar. Saat ini, aku coba untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel pada diriku, agar air yang awalnya keruh, kelak bisa mengalir bening &jernih. Semoga.
Allah bekerja dengan caraNya sendiri. Ketika aku berharap kesabaran dalam merawat & mendidik anak-anakku, Dia memberiku ujian agar aku dapat melewatinya. Ketika aku berharap kemudahan dalam urusanku, Dia memberiku kesulitan untuk dapat melewatinya. Semoga ini adalah proses dalam langkahku memperbaiki diri. Aku yakin, dibalik semua ini Yang Maha Kuasa telah menyiapkan keindahan selama aku tetap istiqomah. Semoga.
Jika suatu saat aku bertemu teman yang aku ceritakan diatas, aku akan berkata bahwa pilihanku menjadi ibu rumah tangga tidaklah salah. Aku ingin menjadi ibu rumah tangga yang profesional, manajer yang handal untuk keluargaku, pendidik terbaik bagi anak-anakku, & istri sholihah bagi suamiku. Karena aku yakin, dia tak ingin anak-anaknya beranjak besar dengan rasa kesepian tanpa dampingan ibu di sisinya. Jika aku diberi kesempatan untuk bertemu mantan atasanku, yang hingga kini masih melajang, aku akan berkata bahwa menjadi ibu rumah tangga tidaklah ibarat kutu loncat didalam kotak korek api. Tapi dia adalah seorang perempuan kuat yang memasuki labirin dimana setiap likunya memberikannya ilmu baru. Labirin dimana dia merasa tertantang untuk mencari jalan keluar.  Dan ketika labirin tersebut sudah ditaklukannya, dia akan tersenyum bangga melihat perjalanannya yang indah!  Selamat berlabirin ria para ibu-ibu profesional!

Bunda Carya & Kinan
Ayo saling menguatkan untuk menjadi ibu yang sebaik-baiknya.


By : Tri Wuriyandari
IIP Salatiga

0 komentar:

Posting Komentar