CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 23 Juni 2012

Ketika Hati Telah Memilih


Jujur, terkadang hati saya masih terasa sangat perih melihat teman-teman sekolah atau kuliah yang sukses berkarir. Padahal saya tahu bahwa kemampuan saya tidak kalah dengan mereka. Saya tahu bahwa saya bisa seperti mereka. Saya wanita biasa yang punya perasaan. Terkadang ingin menangis, tapi setelah itu saya sadar bahwa saya telah menentukan suatu pilihan dan pilihan itu saya buat sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun.
 Masih teringat dengan jelas, saat-saat ketika saya menjadi seorang guru SMA Muhammadiyyah di Sorong Papua dan kemudian menjadi karyawati suatu BPR.Syariah di Cilacap Jawa Tengah.  Betapa sibuknya hari-hari saya dengan pekerjaan dan betapa saya menikmati hal tersebut. Saya adalah tipe orang yang menyukai tantangan dan menyukai tempat-tempat baru. Saya terbiasa mandiri, meskipun anak bungsu. Dan saya sangat menyukai kehidupan sebagai anak kos.
Ketika menjadi guru SMA, pagi hari saya mengajar. Kemudian sore bahkan terkadang malamnya saya isi dengan memberi les privat. Banyak sekali order les privat dan saya menyanggupi semuanya. Dari anak SD, SMP, bahkan orang tua yang meminta les komputer. Di Papua masih banyak orang yang belum bisa mengoperasikan komputer. Saya mengajar mereka sebatas kemampuan yang saya miliki yaitu Ms.Word dan Ms.Excel. Di hari Minggu saya aktif di pengajian ibu-ibu Masjid . Karena keaktifan saya, tentu saja saya mempunyai kenalan yang cukup banyak dari aktifis masjid, aktifis Partai, aktifis organisasi sosial keagamaan. Waktu itu saya masih lajang, sehingga wajar apabila banyak pemuda yang menaruh hati pada saya. Tapi waktu itu saya masih ingin merdeka dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Jawa Tengah.
Sesampai di  Jawa, saya mengirim berbagai aplikasi lamaran pekerjaan, mengikuti berbagai seleksi. Akhirnya saya diterima di salah satu BPR Syariah di Cilacap. Tentu saja saya senang sekali. Dan kehidupan sebagai anak kos pun dimulai kembali. Saya sangat menikmatinya. Awalnya saya menjadi administrasi pembiayaan. Saya mengurusi  orang-orang yang mengajukan pembiayaan, dari mengetik akad, membacakan akad, hingga membenahi arsip-arsip dan jaminan mereka. Tiap hari saya di depan komputer, benda mati. Dan saya adalah tipe orang yang lebih menyukai berhadapan dengan benda hidup daripada benda mati. Pekerjaan saya kacau, berantakan, tidak berprestasi. Akhirnya hanya tiga bulan saya menjadi administrasi pembiayaan karena dianggap tidak capable. Saya dipindah ke bagian marketing funding (mencari nasabah tabungan dan deposito). Disitulah bintang saya mulai bersinar.  Saya menyukai  hubungan dengan orang, saya menyukai tantangan, saya menyukai jalan-jalan, so here I’m...the show must go on !.  Dan benar saja, prestasi saya langsung  melejit  karena saya enjoy dengan pekerjaan saya. Sebagai seorang marketing, mengharuskan saya mencari relasi sebanyak-banyaknya. Meskipun saya pendatang, tapi itu bukan masalah. Saya presentasi di berbagai forum dan instansi, saya juga keliling door to door. How happy I am. Saya masih lajang, dan kejadian itu terulang kembali, ternyata banyak pemuda yang menaruh hati pada saya. Akhirnya saya tersadar bahwa saya harus segera menikah untuk mengakhiri  hal tersebut. Saya tidak pernah berpacaran, saya yakin Alloh akan mengirimkan jodoh sesuai kualitas diri kita. Apabila kita baik, maka jodoh kita pun orang baik-baik pula. Apabila kita jelek maka jodoh kita pun jelek pula. Dengan dicomblangi  seorang teman, akhirnya saya menikah. Saya tidak pernah mengenal suami saya sebelumnya. Kami berbeda daerah asal, berbeda tempat kuliah, berbeda tempat kerja. Saya orang Kebumen, dia orang Wonosobo. Saya kuliah di Fakultas Ekonomi Unsoed, dia kuliah di Fakultas Teknik UGM. Saya kerja di Cilacap, dia kerja di Salatiga. Intinya kami tidak pernah kenal atau bertemu sebelumnya.
 Akhirnya kami menikah dan saya memutuskan resign setelah bekerja 2 tahun 7 bulan. Saya tinggalkan Cilacap dan saya mengikuti suami, menetap di Salatiga. Saya tidak mempunyai saudara atau kenalan di Salatiga, benar-benar mengawali lembaran baru. Di Salatiga ini saya bergabung dengan Jarimatika dan mengenal Ibu Septi  Peni Wulandani  lebih dekat. Jika selama ini saya hanya tau profil beliau melalui media cetak, maka sekarang dapat bertemu langsung. Betapa  senangnya hati saya dapat menimba ilmu secara langsung kepada salah satu tokoh nasional ini. Saya mengikuti training Jarimatika kemudian mengajar kelas reguler dan ekstrakurikuler Jarimatika .
Tak lama kemudian saya hamil. Kondisii fisik saya sangat lemah. Melihat kondisi tersebut, suami saya keberatan jika saya bekerja. Dia  menginginkan saya dirumah saja. Akhirnya saya memutuskan full dirumah. Jadi saya hanya 3 bulan bergabung bersama Jarimatika. Dari sinilah cerita dimulai. Mulai saat itu saya harus berkutat  100% dengan semua pekerjaan teknis rumah tangga. Mulai dari memasak, mencuci , menyapu, menyetrika dll.  Tentu saja saya sangat kaget,  stres, dan emosional.  Saya yang selama ini terbiasa jadi anak kos, merdeka, makan di warung, pagi berangkat ke kantor dengan pakaian rapi dan sepatu mengkilap tiba-tiba harus melepaskan semua itu.  Saya shock dan emosional, terlebih lagi sedang hamil. Sungguh bukan hal yang mudah untuk mengubah karakter dan kebiasaan yang telah melekat lama. Jika emosi sedang memuncak, saya hanya bisa menangis atau sholat atau istighfar. Saya butuh waktu menyendiri untuk cooling down. Saya merenung, bahwa memilih menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan dan keputusan saya sendiri. Bahkan keluarga dan kedua orang tua saya menentang keras ketika saya memutuskan resign, mengundurkan diri.  Ibu murka besar. Saking murkanya beliau tidak mau mengantarkan saya ketika pindahan ke Salatiga. Masih teringat hari-hari ketika saya dimarahi habis-habisan oleh Ibu. Beliau tau bahwa saya tidak capable dalam hal pekerjaan rumah tangga. Apa jadinya jika saya memutuskan menjadi full time mother. Ternyata dugaan beliau benar, saya hancur  ketika menjalankan pekerjaan teknis rumah tangga. Meskipun hancur, saya tidak menyerah. Saya bersabar dan terus berlatih menjadi ibu yang  baik. Ketika sedang down, maka saya akan merenung bahwa profesi menjadi ibu adalah profesi yang paling mulia jika tujuan utama kita adalah surga. Bahwa pintu surga bagi seorang wanita adalah keridhoan suaminya, bukan keridhoan direktur, bukan pula prestasi kerja. Banyak Hadist yang menjelaskan pahala seorang Istri yang taat pada suaminya : ”Jika seorang isteri itu telah menunaikan solat lima waktu dan berpuasa pada bulan ramadhan dan menjaga kemaluannya daripada yang haram serta taat kepada suaminya, maka dipersilakanlah masuk ke syurga dari pintu mana saja kamu suka.” (Hadist Riwayat Ahmad dan Thabrani).  ”Sesungguhnya setiap isteri yang meninggal dunia dan  diridhoi oleh suaminya, maka dia akan masuk syurga.” (Hadist riwayat Tirmizi dan Ibnu Majah).
 Di akhirat nanti, ketika  semua perbuatan manusia dipertanggungjawabkan, saya tidak ingin menjadi orang yang merugi. Saya tahu bahwa sehari di akhirat sama dengan 1000 tahun di dunia...alangkah sebentarnya hidup kita di dunia, alangkah meruginya jika kita tidak berinvestasi serius untuk akhirat. Bahwa menikah nilainya adalah setengah dien.  Bahwa menikah adalah salah satu jalan tol untuk menggapai surga. Bahwa berbakti pada suami dan mendidik anak-anak menjadi anak yang shalih adalah deposito plus plus kita di akhirat nanti. Setelah merenung begitu maka hati saya akan menjadi tenang dan lapang. Hati saya tidak akan perih melihat teman-teman yang sukses berkarir.  Saya akan menangis dan mengadu kepada-Nya, memohon untuk selalu ditetapkan hati agar selalu berada di dalam ketaatan kepada-Nya. Karena Dia lah yang memegang hati manusia, Dia lah yang membolak-balikan hati.  Ya muqollibal quluub, tsabit qalbii ‘alaa diinika, Wahai sang pembolak-balik hati manusia, kokohkanlah hatiku untuk selalu berpegang teguh pada agama-Mu....amiiiin...
Saat ini saya sudah menjalani pernikahan selama  4 tahun, dengan dikaruniai seorang putra yang lucu, pintar, dan menggemaskan. Meski tertatih-tatih tapi saya akan berusaha menjadi ibu yang baik bagi anak saya. Alhamdulillah saat ini sudah berdiri Institut Ibu Profesional. Dan saya pun bergabung di dalamnya dengan tujuan dapat menimba ilmu parenting sebanyak  mungkin. Saya bersyukur dapat menemukan komunitas yang memiliki visi dan misi yang sama. Saya sadar bahwa komunitas adalah sebuah akselerator yang bagus. Hidup berjamaah tentu lebih baik daripada hidup menyendiri. Saya semakin tahu dan paham ternyata untuk mendidik anak  diperlukan berbagai macam disiplin ilmu. Dengan hidup di komunitas maka kita akan bertemu dan menimba ilmu dari berbagai person dengan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda. Hidup di komunitas juga membuat kita semakin tahan banting menghadapi dinamika hidup berkeluarga, karena ketika kita down, ketika tertimpa masalah maka ada tangan-tangan lain yang akan menanting kita, ada bahu-bahu lain yang bersedia menampung tangisan kita. Alangkah indahnya kebersamaan ini. Mari kita saling bahu-membahu, bergandengan tangan, merapatkan barisan untu memberikan yang terbaik bagi keluarga kita....Baiti Jannati forever...:-)



By : Widi Astuti (IIP Salatiga)

0 komentar:

Posting Komentar